Sabtu, 01 Oktober 2011

Rahasia di Balik Maksiat

Kalbu salim memiliki tanda, berbilang jumlahnya. Salah satunya tidak bosan melakukan ketaatan kepada Allah, apalagi menghentikannya. Baginya, ubudiyah kepada Allah serupa pengabdian dan pelayanan kepada sang kekasih, nikmat dan membuat kecanduan. Sebab, tiada perasaan 'terhubung' yang lebih indah melebihi rindu yang terbalas, yang menjadi energi untuk selalu mengulang-ulang saat terhubung dalam peribadatan.

Namun, ubudiyah bukanlah perasaan rindu di ruangan hampa. Yang hanya pintar mengulang tanpa menjadikannya sekelas bintang. Yang hanya memberi kuantitas tanpa peduli kualitas. Juga yang hanya menghadirkan amal yang banyak, dan bukan yang terbaik. Sedang hidup mati, dijadikan Allah untuk melihat siapa yang amalnya terbaik; ahsanu a'maala.

Menyertakan cinta dalam ubudiyah, akan menghadirkan 'keintiman' yang berkelas. Pada penjagaan mutu meski persembahan berbilang dan berulang, dan bukan sekedar banyaknya pemberian. Ubudiyah yang mengandung cinta, jauh dari sikap main-main dan asal-asalan. Sebab kita harus cermat menghitung ruginya waktu terpakai, karena ialah satu-satunya milik kita. Pada sisi ini, kecerdasan kita akan paralel dengan kekikiran kita membuang waktu dalam hal-hal yang tidak jelas manfaatnya.

Peduli akan kualitas inilah yang meniscayakan istighfar saat selesai melakukan ketaatan, bukan hanya ketika menyesali maksiat yang telah kita perbuat. Sebab kita harus khawatir adanya cacat-cacat yang mengiringi ibadah, yang mengotori dan membawanya pergi dari kesempurnaan. Kita tahu, amal berkualitas rendah-meski sering kali berbungkus ketaatan-, tidak layak dipersembahkan kepada Sang Mahasempurna. Ibnu Madyan berkata bahwa hamba yang merealisasikan ubudiyah adalah dia yang melihat amal-amalnya dengan mata riya, melihat semua keadaannya dengan pandangan mengaku-aku, serta melihat ucapannya dengan kacamata kepalsuan. Hingga, Rasullullah pun biasa beristighfar sesuai shalat berliau yang sempurna.

Maka, rasa puas dalam beribadah adalah bencana. Apalagi jika berlanjut dengan meremehkan dan mencela orang lain yang melakukan ketaatan lebih rendah, atau bahkan maksiat. Kecuali mereka yang bangga dengan maksiatnya, dan terang-terangan mengajak orang lain mendukungnya.

Ada rahasia Allah dalam maksiat yang ditaubati. Sebab, boleh jadi Allah menyayangi pelakunya dan menguji kita dengan hal itu. Yang dalam sesalnya, gundah gelisahnya, kehinaan dan kerendahan yang ditanggunya, serta dalam hati remuk redamnya, hal itu lebih bermanfaat baginya, melebihi ketaatan kita yang disertai anggapan suci diri, merasa lebih pandai bersyukur, lebih memiliki ketaatan yang kuat, serta merasa terbebas dari dosa.

Kita harus tahu, bahwa maksiat yang membawa kerendahan diri di sisi Allah, bisa jadi lebih dicintai Allah daripada ketaatan yang membawa kesombongan. Sebagaimana ratapan penyesalan dosa lebih disukai Allah daripada riuhnya tasbih yang diikuti kebanggaan amalan. Bagi hamba yang bertaubat, air mata penyesalan adalah obat yang menyembuhkan luka jiwa. Sedang bagi yang mengaku taat, peremehannya kepada pelaku maksiat yang bertaubat, adalah racun mematikan yang telah bekerja menghancurkannya.

Kini siapa yang menyadari rahasia kecil ini?

Dikutip dari Majalah Ar-Risalah rubrik Mahasabah


0 komentar:

Posting Komentar

0 people have left comments

Commentors on this Post-

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Top Web Hosting | manhattan lasik | websites for accountants